HUKUM
NATAL
Artikel ini dibuat
oleh penulisnya sejak beberapa tahun yang lalu dengan judul : SYUBHAT NATAL.
Dan telah dimuat di Web Resmi FPI yang kemudian disebar-luaskan oleh aneka
Situs Islam lainnya. Bahkan sudah dibuat rekaman Audio Videonya disertai dengan
presentasI melalui tayangan slide power point secara apik dan rinci serta
ilmiah. Berikut isi artikel lengkapnya :
Pada tanggal 1 Jumadil
Ula 1401 H / 7 Maret 1981 M, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa
tentang Natal Bersama yang intinya bahwa mengikuti Natal Bersama bagi umat
Islam hukumnya HARAM, dengan hujjah antara lain: Surat Al-Kaafiruun 1 – 6,
Surat Al-Baqarah : 42, Hadits Nu’man ibnu Ba’syir tentang Syubhat, dan Kaidah
Ushul “Dar’ul Mafaasid Muqaddamun ‘alaa Jalbil Mashaalih” (Menolak kerusakan
didahulukan daripada mengambil mashlahat).
Ketika itu, Rezim yang
berkuasa tidak suka terhadap Fatwa MUI tentang Natal Bersama, karena dianggap
anti toleransi dan bertentangan dengan semangat pluralisme. Lalu MUI dipaksa
untuk mencabut Fatwanya, tapi almarhum Buya Hamka selaku Pimpinan MUI kala itu
lebih suka meletakkan jabatannya daripada menarik kembali Fatwa tersebut, demi
untuk menjaga aqidah umat Islam.
Belakangan, tampil
sejumlah “Tokoh Islam” yang menggulirkan “Fatwa” bahwa Natal Bersama bagi umat
Islam hukumnya BOLEH, dengan menyampaikan sejumlah argumentasi yang tidak lepas
dari MANIPULASI HUJJAH dan KORUPSI DALIL. Fatwa Kontroversial mereka tersebut
sangat digandrungi oleh KAUM SEPILIS (Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme),
bahkan dijadikan Rujukan Utama hingga kini. Fatwa Aneh tersebut telah menebar
SYUBHAT yang melahirkan FITNAH di tengah umat Islam.
Syubhat Natal adalah
pemutar-balikkan ayat mau pun hadits untuk "menyamarkan" hukum Natal
yang sebenarnya sudah jelas keharamannya, sehingga Natal Haram diupayakan
menjadi Natal Halal, sekurangnya menjadi Natal Syubhat. Berikut beberapa
Syubhat Natal dan jawabannya :
1. SYUBHAT PERTAMA :
Dalam Al-Qur’an cukup
banyak ayat yang bercerita tentang Nabi ‘Isa as sekaligus menjadi hujjah bahwa
umat Islam wajib mencintai, menghormati dan mengimani beliau sebagai salah
seorang Rasul. Bahkan dalam Surat Maryam : 33, Allah swt menceritakan ucapan
Nabi ‘Isa as yang berbunyi : “Wassalaamu ‘alayya yauma wulidtu wa yauma amuutu
wa yauma ub’atsu hayyan” (Keselamatan atasku di hari aku dilahirkan dan hari
aku mati serta hari aku dibangkitkan dalam keadaan hidup).
Dengan dasar itu
semua, maka merayakan dan saling mengucapkan selamat atas kelahiran Nabi ‘Isa
as menjadi sejalan dengan semangat Al-Qur’an, sekaligus menjadi bukti cinta,
hormat dan iman kita kepada Nabi ‘Isa as.
JAWABAN :
Iman kepada Para Rasul
merupakan salah satu Rukun Iman. Dan Nabi ‘Isa as merupakan salah satu Rasul
yang wajib diimani. Mengekspresikan cinta dan hormat serta iman kepada Nabi
‘Isa as yang paling utama adalah dalam bentuk memposisikan beliau sebagai Hamba
Allah SWT dan Rasul-Nya, serta menolak segala bentuk PENUHANAN terhadap
dirinya. Jadi, pengekspresian tersebut tidak mesti dengan memperingati Hari
Lahirnya.
Andaikata pun kita
ingin merayakan Hari Lahir Nabi ‘Isa as dengan dasar ayat 33 Surat Maryam, maka
kita akan kesulitan menentukan tanggalnya, karena tidak ada satu pun ayat
Al-Qur’an atau Hadits Nabi saw atau Atsar dari Shahabat, Tabi’in mau pun
Tabi’it Tabi’in, yang menginformasikan tentang tanggal kelahiran Nabi ‘Isa as.
2. SYUBHAT KEDUA :
Dalam Hadits
Muttafaqun ‘Alaihi yang bersumber dari Sayyiduna ‘Abdullah ibnu Sayyidina
‘Abbas ra diceritakan bahwa Rasulullah saw pernah menerima informasi dari
Yahudi tentang Kemenangan Nabi Musa as di Hari ‘Asyura (10 Muharram), lalu Nabi
saw dan para Shahabatnya merayakan Kemenangan Musa as di hari itu dengan
berpuasa.
Jika Nabi saw menerima
INFO YAHUDI tentang tanggal bersejarah 10 Muharram sebagai Hari Kemenangan Nabi
Musa as lalu merayakannya, maka tidak mengapa kita menerima INFO NASHRANI
tentang tanggal bersejarah 25 Desember sebagai Hari Kelahiran Nabi ‘Isa as dan
merayakannya pula.
JAWABAN :
Dalam Hadits
Muttafaqun ‘Alaihi yang lain bersumber dari Sayyidatuna ‘Aisyah ra menerangkan
bahwa Puasa ‘Asyura sudah dilakukan masyarakat Quraisy sejak zaman Jahiliyyah,
dan di zaman permulaan Islam menjadi Puasa Wajib hingga diwajibkan Puasa
Ramadhan di tahun kedua Hijriyyah.
Jadi, Puasa Nabi saw
di Hari ‘Asyura bukan meniru-niru perbuatan Yahudi. Apalagi dalam sebuah Hadits
Shahih disebutkan tentang niat dan anjuran Nabi saw buat umatnya agar juga
Puasa Tasu’a (9 Muharram) untuk membedakan Puasa Umat Islam dengan Puasa Yahudi
di hari ‘Asyura.
Dengan demikian
menjadi jelas bahwa tuntunan Nabi saw adalah tidak meniru-niru perbuatan kaum
kafirin, apalagi dalam sebuah Hadits lainnya beliau saw menegaskan barangsiapa
menyerupai suatu kaum maka ia termasuk bagian darinya.
Memang, sikap Nabi saw
yang diartikan sebagai bentuk perayaan terhadap Hari Kemenangan Nabi Musa as
bisa dijadikan dalil pembenaran syar’i bagi perayaan Hari Bersejarah seorang
Nabi atau Rasul, termasuk Hari Lahir Nabi ‘Isa as. Namun itu tidak boleh
dijadikan dalil pembenaran syar’i bagi tanggal 25 Desember sebagai Hari Kelahiran
Nabi ‘Isa as. Apalagi dijadikan dalil buat meniru-niru Nashrani dalam merayakan
Natal.
Penerimaan Nabi saw
terhadap INFO YAHUDI tentang tanggal 10 Muharram sebagai Hari Kemenangan Nabi
Musa as menjadi PEMBENARAN SYAR’I bagi info tersebut, karena Sunnah Nabi saw
adalah sumber hukum Islam yang autentik setelah Al-Qur’an. Artinya, info itu
menjadi benar bukan karena datangnya dari Yahudi, tapi karena DIBENARKAN oleh
Nabi saw.
Sedang INFO NASHRANI
tentang tanggal 25 Desember sebagai Hari Lahir Nabi ‘Isa as tidak memiliki
PEMBENARAN SYAR’I sama sekali, sehingga tidak bisa dibenarkan.
3. SYUBHAT KETIGA :
Ada Hadits Rasulullah
saw yang membolehkan umat Islam menyampaikan berita yang berasal dari Ahlul
Kitab. Karenanya, jika Nashrani di seantero dunia sudah sepakat merayakan Hari
Lahir Nabi ‘Isa pada tanggal 25 Desember, maka itu bisa menjadi bagian berita
Ahlul Kitab yang boleh kita terima.
JAWABAN :
Memang, ada Hadits
tentang kebolehan menyampaikan berita Ahlul Kitab, tapi ada Hadits juga yang
mengarahkan umat Islam agar tidak mempercayai (membenarkan) dan tidak pula
mendustakan (menyalahkan) berita Ahlul Kitab.
Maksud berita Ahlul
Kitab adalah segala info yang datang dari Kitab-kitab suci atau Doktrin Asli
ajaran agama Yahudi dan Nashrani. Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengklasifikasikan
berita Ahlul Kitab menjadi tiga katagori, yaitu :
a. Info yang
dibenarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah maka wajib diterima,
b. Info yang ditentang
Al-Qur’an dan As-Sunnah maka wajib ditolak.
c. Info yang tidak
dibenarkan dan tidak pula ditentang Al-Qur-an dan As-Sunnah maka wajib
tawaqquf, yaitu tidak menerima dan tidak juga menolak.
Lalu, berita Hari
Lahir Nabi ‘Isa as pada tanggal 25 Desember masuk katagori berita Ahlul Kitab
yang mana ? Atau bahkan tidak termasuk katagori yang mana pun ?
Dalam menjawab
pertanyaan tersebut, harus dilihat terlebih dahulu tentang Hari Lahir Nabi ‘Isa
as dalam Bibel. Berikut DATA BIBEL tentang Kelahiran Nabi ‘Isa as :
A. Lukas 2 : 4 – 7
Ayat-ayat ini
menginformasikan bahwa Sayyidatuna Maryam as saat hamil tua bermusafir ke
Yerusalem, setibanya disana ia tidak mendapatkan penginapan karena semuanya
sudah penuh terisi, sehingga ia melahirkan di palungan (tempat jerami).
Lalu dalam Lukas 2 :
41 ada keterangan bahwa setiap tahun Orang tua Nabi ‘Isa as datang mengunjungi
Yerusalem di Hari Raya Paskah yaitu Hari Raya Bani Israil yang jatuh pada awal
musim gugur. Itulah sebabnya, walau hamil tua Sayyidatuna Maryam as tetap
musafir karena pentingnya Hari Raya tersebut, dan itu pula sebabnya semua
penginapan penuh karena di Hari Raya tersebut semua Bani Israil mendatangi
Yerusalem.
Artinya, menurut DATA
BIBEL bahwa Nabi ‘Isa as lahir di awal musim gugur, dan itu tentu bukan bulan
Desember melainkan awal Sepetember.
B. Lukas 2 : 8 – 11
Ayat-ayat ini
menginformasikan bahwa di malam kelahiran Nabi ‘Isa as, di sekitar Yerusalem
para gembala sedang menjaga kawanan ternaknya di padang terbuka.
Dan dalam Ezra 10 : 9
– 13 serta Kidung Agung (Nyanyian Solomon) 2 : 9 – 11, ada keterangan bahwa di
musim hujan / dingin semua ternak disimpan dalam kandang dan semua manusia
berada di rumah, tidak keluar tanpa keperluan yang mendesak, karena mereka
tidak sanggup menahan dingin di luar rumah.
Dengan demikian, DATA
BIBEL ini pun menunjukkan bahwa saat Nabi ‘Isa as dilahirkan bukan musim hujan
/ dingin / salju, karena manusia dan ternak masih sanggup di padang terbuka
pada malam hari.
Artinya, Nabi ‘Isa as
tidak dilahirkan bulan Desember, karena Desember di Yerusalem musim hujan dan
hawa sangat dingin, bahkan sering turun salju, sehingga tidak mungkin ada
rombongan gembala pada malam hari menjaga kawanan ternak di padang terbuka.
C. I Tawarikh
(Chronicle) 24 : 10 dan Lukas 1 : 5 – 38
Ayat-ayat ini
menginformasikan bahwa Nabi Zakaria as dan rombongannya dalam kelompok Abia
mendapat tugas menjaga Rumah Tuhan pada giliran ke delapan, dan itu menurut
Kalender Hebrew jatuh pada tanggal 27 Iyar – 5 Sivan, atau bertepatan dengan
tanggal 1 – 8 Juni (Awal Juni). Lalu ketika tugas itulah Nabi Zakaria as
mendapat wahyu tentang kehamilan istrinya yang kelak akan melahirkan Nabi Yahya
as.
Artinya, 9 bulan
setelah tugas itu menurut masa kehamilan normal maka Nabi Yahya as dilahirkan,
yaitu awal Maret. Kemudian diinformasikan bahwa usia Nabi ‘Isa as 6 bulan lebih
muda daripada Nabi Yahya as. Maknanya, jika Nabi Yahya as dilahirkan awal Maret
maka Nabi ‘Isa as dilahirkan 6 bulan sesudahnya, yaitu Awal September.
Dengan demikian DATA
BIBEL di atas juga menginformasikan bahwa Nabi ‘Isa as tidak dilahirkan bulan
Desember.
Seorang Pastur dari
Gereja Wolrdwide Church of God di Amerika Serikat, Herbert W. Armstrong
(1892-1986), dalam bukunya yang berjudul The Plain Truth About Christmas
menyatakan bahwa Nabi ‘Isa as tidak dilahirkan bulan Desember, dan Perayaan
Hari Raya Natal bukan ajaran asli gereja, melainkan bersumber dari ajaran
paganisme (penyembah berhala) yang sejak lama, jauh sebelum kelahiran Nabi ‘Isa
as, telah merayakan Hari Kelahiran Dewa Mithra sebagai Dewa Matahari mereka
pada tanggal 25 Desember.
Pendapat Pastur
Herbert tersebut sejalan dengan keterangan dalam Encyclopedia Britannica dan
Encyclopedia Americana. Kedua Literatur tersebut mendefinisikan Natal sama
seperti pernyataan Pastur Herbert di atas.
Pada tahun 1993,
seorang Astronom Inggris, David Hughes dari Universitas Sheffield, dalam sebuah
wawancara dengan Britain’s Press Association (BPA), yang dikutip oleh Kantor
Berita Reuter, menyatakan bahwa Nabi ‘Isa as diduga kuat lahir pada tanggal 15
September 7 tahun sebelum Masehi, karena pada tanggal tersebut terjadi siklus
pertemuan 840 tahunan sekali antara planet Yupiter dan Saturnus, yang dari
permukaan Bumi terlihat bagai Bintang Terang yang langka. Menurutnya, itulah
Bintang Terang yang terlihat di malam kelahiran Nabi ‘Isa as sebagaimana
diinfokan Bibel dalam Matius 2 : 1 -12.
Selain itu, tercatat
dalam beberapa literatur sejarah Nashrani, bahwa tiga abad pertama Masehi tidak
ada umat Nashrani yang merayakan Hari Lahir Nabi ‘Isa as. Dan awal abad keempat
Masehi, perayaan tersebut mulai muncul di tengah umat Nashrani, tapi pada
tanggal yang berbeda-beda, seperti 6 Januari, 28 Maret, 18 April dan 28 Juni.
Baru pada tahun 354 M,
Paus Liberius di Roma memutuskan tanggal 25 Desember sebagai Hari Lahir Nabi
‘Isa as. Keputusan itu diikuti oleh Gereja Roma di Konstantinopel pada tahun
375 M dan di Antakia pada tahun 387 M. Selanjutnya menyebar ke seluruh dunia
hingga saat ini.
Kesimpulannya, Data
Bibel dan Data Astronomi serta Literatur Kristiani lainnya menolak kemungkinan
Kelahiran Nabi ‘Isa as pada bulan Desember, sehingga INFO NASHRANI tentang
kelahiran Nabi ‘Isa as pada tanggal 25 Desember adalah info yang tidak termasuk
dalam katagori berita Ahlul Kitab, karena Bibel sendiri menolak. Info tersebut
adalah INFO FIKTIF yang tidak bisa dipertanggung-jawabkan secara Syar’I mau pun
secara ilmiah akademis.
4. SYUBHAT KEEMPAT :
Pada prinsipnya, umat
Islam boleh KAPAN SAJA merayakan Hari Kelahiran seorang Nabi atau Rasul,
termasuk Hari Lahir Nabi ‘Isa as, untuk memuliakan mereka para Utusan Allah
SWT. Maka, tidak ada masalah memperingati Hari Lahir Nabi ‘Isa as pada tanggal
25 Desember atau tanggal lainnya, walau pun tanggal Lahir Nabi ‘Isa as masih
diperdebatkan kalangan Kristiani sendiri.
Hanya saja, peringatan
Hari Lahir Nabi ‘Isa as pada tanggal 25 Desember lebih tepat untuk membangun
toleransi antar umat beragama dalam rangka menyuburkan keharmonisan hubungan
Islam – Nashrani.
JAWABAN :
Justru, merayakan Hari
Lahir Nabi ‘Isa as bersamaan dengan umat Nashrani pada tanggal 25 Desember
menjadi MAZHONNATUL FITAN (sumber fitnah) yang sangat berbahaya, antara lain :
a. Justifikasi
kebohongan umat Nashrani dalam penetapan tanggal Hari Lahir Nabi ‘Isa as.
b. Justifikasi
kesesatan keyakinan umat Nashrani yang merayakan Natal sebagai Hari Lahir Nabi
‘Isa as sebagai ANAK TUHAN.
c. Membuat BID’AH
DHOLALAH karena merayakan Hari Lahir Nabi ‘Isa as dengan dasar INFO FIKTIF
NASHRANI.
d. Pencampur-adukkan
aqidah haq dengan bathil.
e. Menjerumuskan
kalangan awam dari umat Islam yang kebanyakan lemah iman.
f. Pelecehan terhadap
kemuliaan Nabi ‘Isa as, karena Hari Lahirnya dirayakan dengan Data Dusta,
ditambah lagi dibarengi dengan umat Nashrani yang merayakannya sebagai Hari
Lahir Anak Tuhan.
Dengan demikian,
merayakan Hari Lahir Nabi ‘Isa as pada tanggal 25 Desember bukan bentuk
toleransi antar umat beragama, tapi bentuk pencampu-adukkan aqidah yang sangat
dilarang dalam Islam.
Dan itu tidak akan
menyuburkan keharmonisan hubungan antar Islam – Nashrani, tapi akan menyuburkan
PENDANGKALAN AQIDAH yang bisa mengantarkan kepada pemurtadan.
Sikap umat Islam yang
tidak mengganggu umat Nashrani dalam merayakan Natal, dan ikut menjaga
kondusivitas suasana dalam masa Natal dan Tahun Baru, serta memberi kesempatan
kepada mereka merayakannya secara semarak di berbagai tempat, mulai dari
Gereja, Pabrik, Kantor hingga Istora Senayan, sebenarnya sudah LEBIH DARI CUKUP
sebagai bentuk toleransi mayoritas Muslim kepada minoritas Nashrani di negeri
Indonesia tercinta ini.
5. SYUBHAT KELIMA :
Andai pun umat Islam
tidak merayakan Hari Lahir Nabi ‘Isa as bersama umat Kristiani pada tanggal 25
Desember, karena khawatir terganggunya aqidah. tapi setidaknya tidak mengapa
sekedar mengucapkan SELAMAT NATAL kepada mereka untuk penghormatan dan maslahat
pergaulan.
Apalagi bagi Tokoh
Islam yang jelas sudah mantap aqidahnya dan diperlukan pemantapan hubungan pergaulan
Lintas Agamanya, sehingga kekhawatiran semacam itu tidak perlu ada sekaligus
tidak lagi menghalangi Tokoh Islam dalam meningkatkan Dakwah Lintas Agama.
JAWABAN :
Natal secara Etimologi
adalah Hari Lahir. Dan secara Terminologi adalah Hari Lahir Yesus Kristus
sebagai Anak Tuhan, sebagaimana ditulis oleh berbagai Ensiklopedi. Dan sebutan
HARI NATAL hanya digunakan dalam makna Terminologi.
Artinya, jika
seseorang mengucapkan SELAMAT NATAL maka sesuai makna Terminologinya berarti
mengucapkan “Selamat Hari Lahir Yesus Kristus sebagai Anak Tuhan”. Dan itu
jelas haram bagi umat Islam.
Jika seorang Muslim
terlanjur mendapat ucapan Selamat Natal dari siapa pun, maka mesti dijawab
dengan Surat AL-IKHLASH yang berintikan Keesaan Allah SWT yang tidak beranak
dan tidak diperanakkan.
Syariat Islam buat
semua lapisan umatnya, Ulama dan Awam, Pejabat dan Rakyat, Kaya dan Miskin.
Karenanya, apa pun yang menjadi MAZHONNATUL FITAN diharamkan, baik bagi yang
imannya kuat, apalagi yang imannya lemah. Lebih-Iebih jika Mazhonnatul Fitannya
menyangkut aqidah sebagaimana telah diuraikan tadi.
Bukankah memandang
wanita yang tidak halal, apalagi berjabat-tangan dengannya, diharamkan bagi
laki-laki, termasuk Rasulullah saw sekali pun, karena hal itu merupakan
Mazhonnatul Fitan yang bisa menggerakkan syahwat dan mengundang fitnah.
Padahal kita sama tahu
dan yakin bahwa IMAN dan TAQWA Rasulullah saw adalah yang terkuat dan terbaik,
sehingga syahwat beliau saw tidak akan terpancing hanya dengann memandang atau
berjabat-tangan dengan wanita mana pun yang tidak halal baginya, namun sungguh
pun demikian beliau saw tidak mau melakukannya karena Mazhonnatul Fitan yang
wajib dihindarkan.
Karenanya, tidak ada
alasan bagi Tokoh Islam untuk menghalalkan Natal dengan dalih asal aqidah kuat.
Bahkan ketokohan mereka semestinya membuat mereka lebih hati-hati dalam
bersikap, karena mereka adalah teladan yang akan diikuti umat yang kebanyakan
beraqidahkan lemah. Sikap Tokoh Islam yang mengikuti Natal jelas bisa
menjerumuskan umat.
KESIMPULAN :
Umat Islam hukumnya
HARAM merayakan Natal dalam bentuk apa pun, baik ucapan Selamat Natal, atau pun
saling berbagi Hadiah Natal, atau juga memakai Atribut Natal, mau pun mengirim
Kartu Natal, atau memajang Pohon Natal, apalagi mengikuti Misa Natal.
Selain itu, umat Islam
juga hukumnya HARAM mengganggu umat Nashrani dalam merayakan Hari Natal mereka.
Ayo, bangun Toleransi
antar umat beragama, tanpa mencampur-adukkan Aqidah dan Syariat.
Wallaahul Musta'aan.
Penulis:
Habib Muhammad Rizieq Syihab, Lc, MA
0 Response to "HUKUM NATAL"
Posting Komentar